HUKUM
PERBANKAN SYARIAH
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah Hukum Perbankan Syariah
Dosen
Pengampu :
FIRMAN

Disusun Oleh :
FITRIA YOSSI KOPLAK (….)
RIAL
ROJA SAPUTRA(1602100058)
KELAS E
JURUSAN S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) METRO
TA. 2017/2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mengambil
refrensi dari buku-buku dan jurnal, sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah
dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.
Metro,
07 September 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seiring laju perkembangan zaman yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor tanpa terkecuali faktor ekonomi berdampak pada hampir semua
aspek kebutuhan manusia termasuk keuangan sehingga memaksa lahirnya suatu
sistem lembaga keuangan sebagai sarana pendukungya yaitu perbankan.Bahkan,
perbankan dalam kehidupan suatu negara adalah salah satu agen pembangunan (agent
of development). Hal ini dikarenakan adanya fungsi utama dari perbankan
yaitu sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit atau pembiyaan.
Dunia perbankan Indonesia kini tengah mengalami perkembangan
pesat khususnya perbankan syariah yang sudah seharusnya dimiliki umat Islam
Indonesia mengingat jumlahnya sangat besar. Akan tetapi, perbankan syariah yang
tumbuh dan dikembangkan sebagai solusi alternatif bagi perbankan konvensional
saat ini tidak lepas dari berbagai kendala baik dalam konsep maupun praktiknya
sebagai bank yang berlandaskan pada ideologi Islam.Hal ini menarik untuk dicermati
mengingat agama Islam sebagaimana difahami adalah sebagai agama yang memberikan
pedoman atau tuntunan segala aspek kehidupan masyarakat hendaknya difahami dan
dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan pemeluknya tanpa terkecuali dalam
praktik ekonomi dan pembangunan.
B. RUMUSAN MASALAH
BAB 2
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
BANK SYARIAH
Bank berasal dari kata bangue (bahasa Perancis) dan dari
kata banco (bahasa Italia) yang berarti peti/lemari atau bangku.Peti/ lemari
dan bangku menjelaskan fungsi dasar dari bank komersial, yaitu :
pertama,menyediakan tempat untuk menitipkan uang dengan aman (safe keeping
function),kedua,menyediakan alat pembayaran untuk membeli barang dan jasa
(transactionfunction).Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia bank
diartikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan
jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.Pengertian bank syariah
atau bank Islam dalam bukunya Edy Wibowo adalah bank yang beroperasi sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah Islam.Bank ini tata cara beroperasinya mengacu
kepada ketentuan-ketentuan al-Quran dan hadits.Hukum perbankan syariah
merupakan pengaturan teknis operasional perbankan pada satu sisi, dan
pengaturan terkait kepastian pemenuhan prinsip hukum Islam di sisi lain. Karena
itu pengaturan perbankan syariah tidak bisa dilepaskan dari hukum Islam.
Hukum perbankan syariah merupakan pengaturan teknis
operasional perbankan pada satu sisi, dan pengaturan terkait kepastian
pemenuhan prinsip hukum Islam di sisi lain. Karena itu pengaturan perbankan
syariah tidak bisa dilepaskan dari hukum Islam.
Dengan kata lain,hukum perbankan syariah merupakan hasil
hubungan dialektika hukum nasional terutama yang mengatur tentang perbankan dan
hukum Islam terutama yang mengatur kegiatan ekonomi (fikih muamalah).Tanpa
keterlibatan hukum Islam, hukum perbankan syariah tidak akan pernah ada.
Sebaliknya, hukum perbankan syariah tidak akan terbentuk tanpa hukum nasional.
Demikian pula, keberadaan hukum nasional dan hukum Islam tidak serta merta
melahirkan hukum perbankan syariah, tanpa ada persentuhan/persinggungan antara
keduanya melalui hubungan dialektis.Hukum perbankan syariah tidak identik
dengan hukum Islam itu sendiri, meskipun kemunculannya berangkat dan dilatari
oleh motif pelaksanaan ajaran Islam. Hukum perbankan syariah, mau tidak mau,
harus memadukan hukum Islam dan hukum nasional yang mengatur tentang perbankan,
terutama perbankan konvensional. Dalam formulasi hukum perbankan syariah hukum
Islam ditantang untuk beradaptasi pada hal-hal di luarnya. Dengan
demikian,hukum perbankan syariah selalu dihadapkan pada persoalan pemenuhan
prinsip hukum Islam di satu sisi, dan pemenuhan prinsip bisnis perbankan yang
baik di sisi yang lain.
kemunculan perbankan syariah berangkat dan dilatari oleh
motif pelaksanaan ajaran Islam dalam operasional perbankan.Namun hingga dua
dekade keberadaannya, istilah Islam dan hukum Islam hampir tidak diketemukan
dalam khazanah terminologi yang dipakai dalam perbankan syariah dan hokum
perbankan syariah. Sebaliknya yang sering dijumpai adalah istilah syariah dan
prinsip syariah.Yang pertama menjadi trade merk dari sebuah entitas baru
perbankan non konvensional,sedangkan yang kedua merupakan dasar operasional
dari entitas baru perbankan dimaksud.Untuk itu diperlukan penjelasan mengenai
arti istilah-istilah tersebut dan perkembangan pemakaiannya dari waktu ke
waktu.Ada tiga istilah yang sering diidentikkan, meskipun sebenarnya
masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Ketiga istilah itu adalah
syari’at (Islam), fikih dan hukum Islam.
B. SEJARAH
PERKEMBANGAN HUKUM PERBANKAN SYARIAH DIINDONESIA
Pada dasarnya entitas bank syariah
di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1983 dengan keluarnya Paket Desember
1983 yang berisi sejumlah regulasi di bidang perbankan, dimana salah satunya
ada peraturan yang memperbolehkan bank memberikan kredit dengan bunga 0% (zero
interest).Perkembagan dimaksud diikuti oleh serangkaian kebijakan di bidang
perbankan oleh Menteri Keuangan Radius
Prawiro yang tertuang dalam Paket Oktober 1988 intinya merupakan deregulasi
perbankan yang memberikan kemudahan bagi pendirian bank-bank baru, sehingga
industri perbankan pada waktu itu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.Baru
pada tahun 1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank umum
satu-satunya yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.
Introduksi bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam hukum positif adalah
melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Dengan demikian sejak tahun 1992
industri perbankan Indonesia secara teknis yuridis telah mengenal istilah Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Namun, di sisi lain telah kita ketahui bahwa
bank syariah dalam operasionalnya tidak semata-mata mendasarkan pada prinsip
bagi hasil, melainkan terdapat akad-akad tradisional Islam lainnya yang dapat
diimplementasikan dalam praktik bank bebas bunga dimaksud. Akad-akad
tradisional Islam atau yang sering disebut sebagai prinsip syariah merupakan
instrumen yang menggantikan sistem konvensional berupa bunga (riba),
ketidakpastian (garar), perjudian (maisyir), dan baá¹ilyang merupakan unsur-unsur
yang dilarang dalam Islam.Berdasarkan paradigma tersebut, serta adanya realitas
empiris yang menunjukkan bahwa bank-bank konvensional banyak yang tidak sanggup
bertahan di saat krisis keuangan dan moneter melanda, maka mendorong pemerintah
untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.
Perubahan Atas beberapa materi
muatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998. Undang-undang inilah yang mempertegas eksistensi perbankan syariah
di Indonesia.Era Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kebijakan hukum perbankan
di Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system). Kebijakan
ini intinya memberikan kesempatan bagi bank-bank umum konvensional untuk
memberikan layanan syariah melalui mekanismeislamic window dengan terlebih
dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS).
Akibatnya pasca undang-undang ini
memunculkan banyak bank konvensional yang ikut andil dalam memberikan layanan
syariah kepada nasabahnya.Pemberian layanan syariah semakin dipermudah dengan
diperkenalkannya konsep office chaneling
dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/3/PBI/2006.Office chaneling
intinya adalah bahwa untuk memberikan layanan syariah Bank Umum Konvensional
yang sudah memiliki UUS di kantor pusatnya, tidak perlu lagi membuka Kantor
Cabang/Kantor Cabang Pembantu baru melainkan cukup membuka countersyariah dalam
Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu konvensional. Hal ini tentu saja akan
menghemat keuangan bank, karena tidak lagi memerlukan infrastruktur baru
seperti gedung, alat-alat kantor, karyawan, dan teknologi informasi.
C. LANDASAN
HUKUM PERBANKAN SYARIAH
a. Perbankan Syariah Dalam UUD
Dari sisi konstitusi atau UUD, persoalan perbankan syariah
sudah mendapatkan temapat, terutama dari pembukaan UUD bahwa NKRI yang
berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada ketuhanan yang maha esa. Ini berarti
aspirasi masyarakat yang berbasiskan ketuhanan yang maha esa harus diakomodasikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dukungan konstitusi terhadap perbankan syariah dapat dilihat
dalam pasal 33 ayat (4) UUD yang berbunyi: “perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.\
”Dengan dukungan konstitusi di atas, maka seharusnya bangsa
Indonesia sujah jauh-jauh hari mengesahkan dan mengundang-undangkan UU
perbankan syariah. Negara ini dapat dikatakan terlambat dalam mengadopsi UU
perbankan syariah. Mungkin ini merupakan salah satu penyebab kenapa perbankan
syariah di Indonesia masih lambat dan tertinggal jauh dibandingkan Negara
tetangga seperti Malaysia yang merupakan Negara islam.
b. Perbankan Syariah Dalam UU
Sebelum UU Perbankan Syariah disahkan, posisi perbankan
syariah di Indonesia cukup mengambang, kaarena didukung oleh konstitusi, namun
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Memang
di Indonesia sudah ada UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagai mana telah
diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. Namun dalam UU ini ketentuan tentang
perbankan syariah sangat minim sehingga tidak bisa menjadi jawaban terhadap
keunikan dan kekhususan perbankan syariah.
Pasal 6 huruf m UU No.7 Tahun 1992 hanya menyebutkan bahwa
bank umum dapat (m). menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip
bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan dalam peraturan pemerintah.
Dalam UU NO.10 Tahun 1998 tentang perbankan ketentuan tentang perbankan syariah
di nyatakan lebih tegas lagi, se[erti terlihat dalam pasal 1 angka 3 dan 4
bahwa (3) bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;(4)bank perkreditan rakyat (bpr)
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.
Dalam pasal 1 angka 13 UU NO.10 Tahun 1998 prinsip syariah
di jelaskan sebagai prinsip aturanperjanjian berdasarkan hukum islam seperti
pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan
prinsip penyertaan modal (musyarakah),prinsip jual beli barang dengan
memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan
prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang di sewa dari pihak bank dan oleh pihak
lain (ijarah wa iqtina).
Kelemahan UU NO.10 Tahun 1998 adalah UU ini mengatur
ketentuan yang berlaku untuk semua bank baik bank konvensional maupun syariah
oleh karena itu UU NO.10 Tahun 1998 meracukan batasan antara bank syariah
dengan konvensional. UU Perbankan Syariah yang di sahkan pada 17 juni 2008 di
rancang dan di bahas di DPR selama tiga tahun ini berarti pembahasan rancangan
UU Perbangkan Syariah memakan waktu yang sangat lama.
Dalam UU Perbangkan Syariah diatur jenis usaha,ketentuan
pelaksanaan syariah,kelayakan usaha,penyaluran dana,dan larangan bagi bank
syariah maupun UUS yang merupakan bagian dari bank umum konvensional. Sementara
itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan
operasional perbankan syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak
mengandung unsure-unsur riba, maisir, ghara, haram,
dan lazim.
Sebagai UU yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam UU
ini diatur mengenai masalah keputusan syariah(syariah compliance) yang
kewenangannya berada pada majlis ulama Indonesia (MUI) yang direpresenctasikan
melalui dewan pengawas syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing
bank syariah dan UUS. Untuk menindak lanjuti implementasi fatwa yang
dikeluarkan MUI kedalam PBI, di dalam internal bank Indonesia di bentuk komite
perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan bank Indonesia,
departemen agama, dan unsure masyarakat yang komposisinya berimbang.
Penyelesaian sengketa yang timbul pada perbankan syariah,
dilakukan melalui pengadilan di lingkungan peradilan agama. Di samping itu
penyelasaian sengketa bisa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga
arbritase, atau melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum sesuai dengan
akad yang talah di sepakati oleh para pihak. Untuk menerapkan substansi UU
Perbankan Syariah ini, maka pengaturan terhadap UUS yang secara koorperasi
masih berada dalam satu entitas dengan bank umum konvensional, di masa depan,
apabila telah berada dalam kondisi dan jangka waktu teretentu di wajibkan untuk
memisahkan UUS menjadi bank umum syariah dengan memenuhi tata cara dan
persyaratan yang ditetapkan dengan PBI.
c. Perbankan Syariah Dalam Peraturan
Pemerintah
Adaa empat peraturan pemerintah yang mengatur tentang
perbankan Syariah, yaitu : pertama PP No.70 Tahun 1992 tentang bank umum[5]
dan perubahan-perubahanya. Hal penting dari PP ini berkaitan dengan bank
syariah, sebagaimana tertera dalam pasal 2 PP No.38 Tahun 1998 tentang
perubahan atas PP No.70 1992 adalah tentang modal disetor untuk mendirikan bank
umum dan bank campuran yang sekurang kurangnya sebesar Rp. 3 triliun.
Kedua, PP no 71 tahun 1992 tentang BPR. Dalam PP ini,
ketentuan tentang BPR hanya terdapat dalam pasal 6 ayat 2 bahwa : bank
perkreditan rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan perinsip bagi
hasil, harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank yang semata-mata
berdasarkan prinsip bagi hasil dalam rancangan anggaran dasar dan rancangan
kerjanya.
Ketiga, PP No 72 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi
hasil. Inti dari dari PP No.72 tahun1992 ini bahwa bank yang melaksanakan
prinsip bagi hasil haRus memerhatikan prinsip-prinsip Syariah (pasal 2) dan
kesepakatan yang di tuangkan dalam perjanjian tertulis antara para pihak (
pasal 3).
Keempat, PP No.30 tahun 1999 adalah tentang pencambutan
No.70 tahun1992 tentang bank umum sebagaimana telah beberapa kali di ubah
terakhir dengan PP No.73 tahun1968, PP No.71 tahun 1992 tentang BPR dan PP
No.72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Dengan adanya PP
No.30 tahun 1999 maka semua regulasi yang mengatur perbankan secara umum dan
perbankan syariah secara khusus tidak lagi melalui PP maelainkan melalui PBI.
Kekuasaan untuk membina dan mengawasi bank selanjutnya beralih dari pemerintah
melalui departemen keuangan ke bank Indonesia.
d. Perbankan Syariah Dalam Peraturan
Bank Indonesia
Peraturan bank Indonesia (PBI) adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh bank Indonesia untuk mengawasi dan membina semua bank yang
berbadan hukum Indonesia atau beroperasi di Indonesia. PBI yang lahir sebelum 1
november 2004 tetap mempunyai kekuatan hukum. Seperti dalam pasal 7 ayat (4) UU
No. 10 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa peraturan yang dikeluarkan lembaga
Negara lain, seperti Bank Indonesia, yang bersifat mengatur mempunyai kekuatan
hukum selama diperintahkan oleh perundang-undangan, yang dalam hal ini oleh
UUD, UU, Perpu, PP, dan perpres. Dengan begitu PBI tidak boleh berdiri sendiri,
melainkan harus merujuk atau melaksanakan perintah salah satu hierarki hukum di
atas.
PBI yang lahir setelah 1 november 2004 harus menyesuaikan
dengan ketentuan dalam UU No. 10 tahun 2004. Karena PBI tidak termasuk dalam
hierarki hukum nasional. Oleh karena itu, proses kelahirannya, PBI harus ada
perintah dari peraturan perundang-undanganyang disebutkan dalam pasal 7, yaitu
UUD, perpu, UU, PP, dan Perpres(pasal 7 ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004)
Pengesahan UU Perbankan Syariah memberikan kekuatan atas
keberadaan PBI dalam mengatur perbankan syariah, karena diperintahkan oleh UU
yang secara khusus mengatur perbankan syariah.Dalam UU Perbankan Syariah banyak
pasal-pasal yang memerintahkan “ketentuan lebih lanjut mengenai hal tertentu
diatur dalam PBI.” Terdapat 21 ketentuan dalam UU Perbankan Syariah yang
memerintahkan pengaturan lebih lanjut hal tertentu dalam PBI.
e. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Salah satu sumber rujukan hukum tentang perbankan syariah
adlah fatwa MUI yang biasa digodog dan dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional
MUI (DSN MUI). Dalam system ketatanegaraan Indonesia fatwa MUI bukan merupakan
hukum positif, sehingga hanya mengikat masyarakat muslim secara personal saja.
Negara tidak berhak mengeluarkan sanksi terhadap pihak-pihak yang melanggar
fatwa tadi.
Dengan adanya UU perbankan syariah, maka fatwa MUI juga
mempunyai pijakan. Hal ini terjadi karena UU perbankan syariah menentukan bahwa
perincian mengenai prinsip syariah difatwakan oleh MUI, yang kemudian
diupayakan menjadi PBI setelah melalui penggodogan di komite perbankan syariah
yang dibantu oleh bank Indonesia, seperti terlihat dalam pasal 26 UU perbankan
syariah bahwa: (1) kegiatan usaha perbankan syariah dan/atau produk dan jasa
syariah, wajib tunduk kepada prinsip syariah; (2) prinsip syariah itu
difatwakan oleh MUI; (3) fatwa MUI dituangkan dalam PBI; (4) dalam rangka
penyusunan PBI, bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah.Ketentuan di
atas menunjukan bahwa kelak Fatwa MUI tentang perbankan syariah akan lebih
berdaya guna, karena akan dituangkan menjadi PBI itu sendiri, yang kemudian
dapat menjadi hukum positif yang diakui keabsahannya dalam system
ketatanegaraan.
D. URGENSI
PENGATURAN HUKUM PERBANKAN SYARIAH
Formulasi hukum perbankan Syariah di
Indonesia merupakan problematik. Ia bukan persoalan positivisasi hukum Islam
semata, namun lebih dari itu, sebagaimana dikemukakan Ijtihad, Jurnal Wacana
Hukum Islam dan Kemanusiaan,ia merupakan persoalan bagaimana eklektisisme
(memilah dan memilih) bisa dilakukan antara hukum Islam dan hukum nasional.
Problematika formulasi hokum perbankan Syariah muncul karena banyak hal.
Pertama, fikih muamalah sebagai
hukum Islam yang membidangi persoalan ekonomi, tidak identik dengan perbankan
syariah itu sendiri.Fikih muamalah/hukum ekonomi Islam hanya mengatur hal-hal
yang bersifat prinsip-prinsip saja.Sedangkan praktek dan operasional perbankan
saat ini sudah sedemikian rumit dan detailnya, sehingga transformasi fikih
mumalah ke hukum perbankan syariah tidak akan operasional jika tidak diikuti
oleh penyiapan sarana prasarana dan infrastruktur yang menunjang.
Kedua, hukum ekonomi Islam atau
tepatnya prinsip syariah yang menjadi dasar operasional bank syariah adalah
fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), bukan
karya hukum Islam yang telah terkodifikasikan secara detail. Memang prinsip syariah
itu pada akhirnya terkodifikasikan, akan tetapi sebelum sampai ke sana fatwa
DSN MUI itu diolah terlebih dahulu oleh Komite Perbankan Syariah yang dibentuk
oleh Bank Indonesia. Prinsip syariah dimaksud, menurut Pasal 26 ayat (3) UU
PbS, baru mendapatkan kekuatan yuridisnya setelah dituangkan dalam bentuk
Peraturan Bank Indonesia (PBI) dalam format kodifikasi. Karakteristik hukum
Islam yang berbentuk fatwa adalah sifat dinamisnya. Ia mudah menyesuaikan
dengan perkembangan zaman sehingga membuatnya senantiasa relevan dan aktual
setiap saat. Namun pada sisi yang lain, hukum Islam yang berbentuk fatwa tidak
mempunyai daya ikat termasuk kepada pencari/peminta fatwa, kecuali atas dasar
keyakinan keimanannya Kecuali itu, transformasi fatwa menjadi PBI yang butuh
proses panjang demi terpenuhinya persyaratan yuridis memunculkan persoalannya
sendiri. Ialah persoalan hasil akhir dari fatwa tersebut.
Ketiga, hukum ekonomi Islam terutama
yang terkait dengan perbankan tidak bias terakomodir oleh sistem perbankan yang
ada yang mendasarkan operasionalnya dengan sistem bunga. Oleh karena itu hukum
perbankan Syariah harus diramu dari prinsip-prinsip hukum ekonomi Islam dan
hukum nasional yang telah ada, baik hukum perbankan (non Syariah)-nya maupun
bidang hukum yang lain. Hukum perbankan Syariah, dengan demikian,tampil sebagai
entitas baru dan dalam banyak hal berbeda dari hukum perbankan non syariah.
Keempat, hukum perbankan Syariah
merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Konsekwensinya, ia
senantiasa terkait secara sinergis dan harmonis dengan produk-produk peraturan
perundang-undangan yang lain, baik yang secara spesifik mengatur perbankan
maupun yang mengatur perekonomian secara umum, bahkan dengan system hukum
nasional yang telah dan akan ada secara keseluruhan. Jika tidak, maka akan
terjadi ketimpangan dan disharmoni serta ketidaksingkronan yang akan membuat
hukum perbankan Syariah tidak operasional dan a-historis.
E. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERBANKAN
SYARIAH DIINDONESIA
Untuk memberikan
pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara
pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia,
selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru
Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai
aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual
industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend
perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan
sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari
kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun
international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional,
seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.
Pengembangan
perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi
masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh
karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu
kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan
Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah
merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam
skala yang lebih besar pada tingkat nasional.
“Cetak Biru
Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran
pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan
prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam
kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan
syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam
aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai
terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka
pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar
domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan
Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi
memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada
akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia
adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi
seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang
menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang
dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang
dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi
sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya
dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan
senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai
bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.
F.
PENGEMBANGAN
PASAR PERBANKAN SYARIAH DIINDONESIA
Sebagai
langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank
Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan
Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi
aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan
syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional
yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat,
pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi
komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.Selanjutnya
berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi
dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain
adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan
syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai
Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan
pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan
syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan
pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar
75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai
perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar
Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
Kedua, program pencitraan baru perbankan
syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding.
Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua
belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan
skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika,
teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli
investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah
“bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat
terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan
jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan
masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang
diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value
yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang
luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
Kelima, program peningkatan kualitas
layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi
yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu
mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan
jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam, program sosialisasi dan edukasi
masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi
langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site),
yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa
perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
G.
PRODUK PERBANKAN SYARIAH
Produk
perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: Produk Penyaluran
Dana, Produk Penghimpunan Dana, dan Produk yang berkaitan dengan jasa yang
diberikan perbankan kepada nasabahnya.
Penyaluran
Dana
Dalam
menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah
terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya
yaitu:
1. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
2. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
3. Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
1. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
2. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
3. Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua,
tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas
barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah
produk yang menggunakan prinsip jual-beli seperti murabahah, salam, dan
istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa yaitu ijarah.
Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari
besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi-hasil. Pada produk bagi
hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka.
Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah musyarakah dan
mudharabah.
Prinsip
Jual Beli (Ba’i)
Prinsip
jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang
atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan
di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.Transaksi jual-beli
dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti:
a.
Pembiayaan murabahah
Murabahah
bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai murabahah.
Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) adalah transaksi
jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai
penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank
dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan
jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika
telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah
lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil).
Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran
dilakukan secara tangguh.
b.
salam
Salam
adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh
karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan
tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual.
Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini
kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara
pasti.Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka
bank akan menjualnya kepada rekanan nasa¬bah atau kepada nasabah itu sendiri
secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga
beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai
biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan
dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga
jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli
dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya
transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti
pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara
tunai atau secara cicilan.
Ketentuan
umum salam yaitu:
1.Pembelian
hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis,
macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis
kualitas “A” dengan harga Rp5000 / kg, akan diserahkan pada panen dua bulan
mendatang.
2.Apabila
hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen)
harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah
diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
3.Mengingat
bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory),
maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak
ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan.
Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam
c.
istishna
Produk istishna
menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya
dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran.Skim istishna
dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan
konstruksi.Ketentuan
umum istishna yaitu:
Spesifikasi
barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga
jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna dan tidak
boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria
pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh
biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.
d. prinsip
Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah
dilandasi adanya perpindahaan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah
sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek
transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada
ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir
masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah.
Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik
(sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual
disepakati pada awal perjanjian.
Prinsip
Bagi Hasil (Syirkah)
Produk
pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah:
a.
Musyarakah,
Bentuk umum
dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah atau syarikah
atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah dilandasi adanya
keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang
mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah
adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dima¬na mereka
secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud
maupun tidak berwujud.Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang
bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset),
kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill),
kepemilikan (property), peralatan (equipment) , atau
intangible asset (seperti hak paten atau goodwill),
kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya
yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk
kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan
produk ini sangat fleksibel.
Ketentuanumum:
Semua modal
disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola
bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan
usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk
menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukantindakanseperti:
1. Menggabungkandanproyekdenganhartapribadi.
2. Menjalankan
proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik modal lainnya.
3. Memberi
pinjaman kepada pihak lain.
4. Setiap
pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain.
5. Setiappemilikmodaldianggapmengakhirikerjasamaapabila:Menarikdiridariperserikatan
Meninggaldunia,Menjadi tidak cakap hokum Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama.Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan sedangkan kerugiandibagisesuaidenganporsikontribusimodal.
Meninggaldunia,Menjadi tidak cakap hokum Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama.Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan sedangkan kerugiandibagisesuaidenganporsikontribusimodal.
6. Proyek
yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai
nasabah mengembalikan dana terse¬but bersama bagi hasil yang telah disepakati
untuk bank.
b.
Mudharabah
Secara
spesifik terdapat bentuk musyarakah yang popular dalam produk
perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk
kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi
100% modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.
Transaksi
jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam
manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak
hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat
kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk mengelola
modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak ajaran Islam.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak ajaran Islam.
Ketentuan umum:
1. Jumlah
modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan
tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan
uang.
2. Apabila
modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati
bersama.
Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:(Perhitungan dari pendapatan proyek (revenuesharing) (Perhitungan dari keuntungan proyek (profitsharing) Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati.
Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:(Perhitungan dari pendapatan proyek (revenuesharing) (Perhitungan dari keuntungan proyek (profitsharing) Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati.
3. Bank
selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan
penyimpangan pihak nasabah,seperti penyelewengan,kecurangan dan penyalahgunaan dana.
4. Bank
berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan
pekerjaan/usaha nasabah.Jika nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya tidak
mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewajiban,dapat dikenakan sanksi
administrasi.
c.
Mudharabah Muqayyadah
Karakteristik
mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan persyaratan di atas.
Perbedaannya adalah terletak pada adanya pembatasan penggunaan modal sesuai
dengan permintaan pemilik modal.
Akad Pelengkap
Untuk
mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap.
Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan
untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti
biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
1.
Hiwalah(AlihUtang-Piutang)
Hiwalah adalah
transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah
lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat
melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan
piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu
melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi
antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier
bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua
bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia
meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran
dari pemilik proyek.
2.
Rahn(Gadai)
Tujuan akad rahn adalah
untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam
memberikanpembiayaan.Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
1. Milik
nasabah sendiri.
2. Jelas
ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
3. Dapat
dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
4. Atas
izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan
tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan.
5. Apabila
barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
6. Apabila
nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas
perintah hakim.
7. Nasabah
mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank.
8. Apabila
hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka kelebihan tersebut menjadi milik
nasabah.Dalam hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya,nasabah
menutupi kekurangannya.
3.
Qardh
Qardh adalah
pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empathal,yaitu
:
Sebagai
pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan
untuk memenuhi syarat penyetoran.Biaya perjalanan haji Nasabah akan melunasinya
sebelumkeberangkatannyakehaji.Sebagai pinjaman tunai (cash advanced)
dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk
menarik uang tunai milik bank melalui ATM.Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu
yang ditentukan.
Sebagai
pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan
si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah,
atau bagi hasil.
Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank me¬nyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank me¬nyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
4.
Wakalah(Perwakilan)
Wakalah
dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan
L/C, inkaso dan transfer uang.Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad
pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apabila dana
nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C)
dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah,
atau musyakarah.
Kelalaian
dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena force
majeure menjaditanggungjawabnasabah.
Apabila bank
yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-masing bank tidak boleh bertindak sendiri-sendiri
tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali dengan seizin nasabah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan ha¬rus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama.Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan ha¬rus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama.Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.
5. Kafalah(GaransiBank)
Garansi bank
dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban
pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana
untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana
tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas
jasa yang diberikan.
Produk Penghimpunan Dana
Penghimpunan
dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip
operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah
prinsip wadi’ah dan mudharabah.
PrinsipWadiah
Prinsip wadi’ah
yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada
produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah
amanah. Dalam wadi’ah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak
boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi.Sedangkan dalam hal wadi’ah dhamanah,
pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan
sehingga boleh memanfaatkan harta titipa ntersebut.Karena wadi’ah yang
diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad
dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana
nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai
yang dipinjami. Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair bin Awwam ketika
menerima titipan uang di jaman Rasulullah SAW’.
Ketentuan umum dari produk
ini adalah:
1. Keuntungan
atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank,
sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
2. Bank
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk
menarik danamasyarakatnamuntidakbolehdiperjanjikandimuka.
3. Bank
harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana
yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.Khususbagipemilikrekeninggiro, bankdapatmemberikanbukucek,bilyetgiro,dandebitcard.Terhadappembukaan
rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar
menutupi biaya yang benar-benar terjadi.Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan
dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
PrinsipMudharabah
Dalam
mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak
sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola).
Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan murabahah atau
ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana
tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil
usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal
bank menggunakannya untuk melakukan pembiayaan mudharabah, maka bank
bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi2. Rukun mudharabah
terpenuhi sempurna (ada mudharib – ada pemilik dana, ada usaha yang
akan dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab kabul). Prinsip mudharabah
ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.Berdasarkan
kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi
tiga yaitu:
Mudharabahmutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berda¬sarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.ketentuan umum produk ini adalah :
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berda¬sarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.ketentuan umum produk ini adalah :
Bank wajib
memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan
keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan
dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan; maka hal tersebut
harus dicantumkan dalam akad.
Untuk
tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti
penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung.
Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan
(bilyet) depositokepadadeposan.
Tabungan
mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian
yang disepakati, namun tidak diperkenankan mengalami saldo negatif.
Deposito
mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah
disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan
sama seperti deposito baru,tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpan¬jangan
otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.
Ketentuan-ketentuan
yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Mudharabah
Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah
ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik
dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank.
Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan
digu¬nakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah
tertentu.karakteristik jenis simpanan ini adalah:
1. Pemilik
dana wajib menetapkan syarat tertentu yang harus di¬ikuti oleh bank wajib
membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.
2. Bank
wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat
ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut harus dicantumkan dalam akad.
3. Sebagai
tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkandanadarirekeninglainnya.
4. Untuk
deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan
(bilyet) deposito kepada deposan.
Mudharabah
Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah
ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana
usahanya, dimana bank ber¬tindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan
antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan
syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan
usaha yang akan dibiayai dan pelaksana usahanya.karakteristik jenis simpanan
ini adalah
Sebagai tanda
bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus.Bank wajib memisahkan
dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam
rekening administratif.
Dana simpanan
khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh
pemilik dana.
Bank menerima
komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan
pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.
Komentar
Posting Komentar